rss
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites

11 June 2009

PENEMUAN SEPANJANG DJOKJA-UNGARAN

Menyadari bahwa sesungguhnya pekerjaan petani membuat alam menjadi begitu indah, suatu kerja yang remeh, namun kehidupan dunia bergantung pada itu. Mengapa indah? Jalur penggarapan, jarak tiap bibit, dan sengkedan itu, dan lumpur cokelat, dan air membuat alur sendiri berbentuk seperti lukisan indah dan enak dipandang mata...

PENEMUAN I
Si tua renta bercaping itu tampak kotor...
Si tua renta yang sudah dapat dipastikan miskin harta...
Dengan terik matahari yang tak bersahabat...
Siang itu, memang tak ada tiang awan...
Si tua renta membungkuk dengan daun-daun runcing di tangannya...
Dengan pasti ditancapkan bibit padi itu di tanah olahan yang berbau dan blenyek...
Tangannya begitu sigap menancapkan bibit itu...
Menakjubkan! bibit-bibit itu berbaris rapi, rata...
Sungguh perkiraan si tua renta memang hebat...
Si tua renta yang baik...
Mau bersusah untuk memberi mulut-mulut manusia makan dengan imbalan yang tak setimpal...
Dunia bisa makan...
Alam jadi begitu indah...
Karena si tua renta bercaping itu...

PENEMUAN II
Sungguh alam nan raya negeri ini menakjubkan...
Mata kantuk terasa segar sesaat setelah menatap alam di tengah pulau Jawa yang kecil ini...
Pohon tinggi, tinggi sekali!...
Pohon rendah yang mencekam dengan akar yang mencuat dan batang yang terukir abstrak...
Bukit-bukit yang gempal dan hijau...
Sawah yang terhampar sangat luas...
Jurang yang dalam tampak bagai labirin yang memesona...

PENEMUAN III
Si bapak berkumis menyebalkan...
Membawa kami entah kemana...
Seorang teman ada yang tahu si bapak berkumis salah jalur...
Si bapak berkumis sepertinya tak mau disalahkan...
Dasar manusia!...
Bayangan akan kebun kopi yang indah...
Kerinduan akan pengalaman luar biasa...
Sirna seketika...
Kala keputusan berat dikeluarkan...
Kami harus pulang dengan kekecewaan...

PENEMUAN IV
Legenda Rawa Pening
Rawa Pening, Gunung Merbabu, Telomoyo, Ambarawa, Jawa Tengah
Konon, sepasang kekasih Hajar Selakantara dan Endang Puspasari menjalin cinta terlarang, karena Endang adalah abdi Hajar. Hingga Endang hamil dan melahirkan seorang bayi. Namun aneh, bayi itu berwujud ular naga dan diberi nama Baru Klinthing. Karena malu, Hajar pergi meninggalkan Endang dan Baru Klinthing. Seiring dengan tumbuhnya Baru Klinthing, Ia selalu menjadi ledekan teman-teman sebaya karena wujudnya yang aneh.Suatu ketika, bertanyalah Baru Klinthing pada sang ibu dengan berlinang air mata, "Bu, mengapa wujudku aneh begini? Mengapa aku tidak normal seperti yang lain? Bapak pun aku tak punya." Endang pun mengisahkan sang ayah pada Baru Klinthing bahwa sang ayah sesungguhnya adalah seorang yang sakti. Lalu, Endang menyarankan Baru Klinthing untuk mencari ayahnya dan meminta pertolongan padanya. Mengembaralah Baru Klinthing hingga akhirnya bertemu dengan sang ayah. Sebenarnya, Hajar tidak ingin mengakui Baru Klinthing sebagai ayahnya, namun karena martabatnya, Ia pun mengakui Baru Klinthing sebagai anaknya. Selanjutnya, oleh ayahnya, Baru Klinting disuruh bersemedi. Ia harus bermeditasi dengan posisi tubuhnya mampu melingkari gunung. Seandainya Baru Kinting sanggup memenuhi persyaratan ini, ia akan berubah wujud menjadi manusia sempurna. Harapan baru, membuat Baru Klinting melakukan “tapa brata” memohon petunjuk yang Kuasa.Waktu berlalu, Baru Klinting yang merupakan sosok naga, mencoba melingkarkan tubuh raksasanya ke gunung. Namun, ia tak mampu. Yang menyakitkan jaraknya hanya tinggal sejengkal. Nah, supaya benar-benar sampai, ia menjulurkan lidahnya. Lidahnya ini, mampu menyentuh ekornya.Pada saat itulah, Hajar memotong lidah Baru Klinting, yang membuat sang naga kesakitan. Bagaimana kisah tentang Hajar tak banyak yang tahu. Plot cerita mengarah pada Baru Klinting, yang usai tragedi itu benar-benar berubah menjadi bocah lelaki berwajah buruk. Si bocah dalam kondisi lapar masuk ke wilayah desa yang saat itu tengah berpesta. Sayang, tidak ada yang bersedia menerima bocah itu, apalagi memberi makanan. Hanya hinaan yang ia terima. Nasib baik masih menaungi bocah, seorang janda baik hati mau menerimanya. Janda ini bersedia menerima si bocah dan memberi makan ala kadarnya. Kebaikan hati si janda membuat bocah Baru Klinting tersentuh. Sebelum pamitan meninggalkan rumah si janda, ia berujar, ”Ibu yang baik hati, saya pesan, kelak seandainya desa ini dilanda banjir, naiklah lesung sambil membawa alu. Kelak, Ibu akan selamat. Begitulah, si bocah meninggalkan rumah ibu baik hati itu, dan menghampiri keramaian desa. Ia menancapkan sodo lanang (lidi) ke tanah. Siapa yang sanggup mencabut lidi ini? Dari main-main, banyak yang penasaran, masa iya, tidak ada yang bisa mencabut lidi itu. Dan memang tidak ada yang bisa. Lalu, si bocah mencabut sodo lanang. Muncratlah air dari bekas tancapan lidi. Dengan cepat air mengalir, menenggelamkan desa itu. Semua warga desa yang menghina bocah Baru Klinting lenyap. Yang selamat hanya janda penolong baru dengan perahu lesungnya. Luapan air yang terus mengalir ini, kemudian berubah menjadi danau yang sedemikian luas. Banyak yang menyebut, janda ini adalah Endang Pusporini.Menurut kepercayaan masyarakat, lesung ini terus membawa janda ke daerah yang aman. Lesung ini kemudian berubah menjadi batu besar dan hingga sekarang batu itu masih ada. Letaknya, tak jauh dari Pauline, toko roti legendaris di Ambarawa.

0 komentar: